Muhammad Hifni
1614015012
PENGADILAN PUISI INDONESIA MUTAKHIR DAN JAWABAN
Harian kompas
4 September 1974 menyiarkan acara baca puisi di
Bandung itu, “ Selain pembacaaan puisi juga akan diadakan pengadilan
puisi,” tulis Kompas, “yaitu penilaian terhadap puisi Indonesia modern, yang
ditulis oleh penayair –penyair kita.’’Acara itu terbuka untuk umum. Demikianlah
Puisi Indonesia Mutakhir jadi terdakwa yang diadili ; ada jaksa yang mendakwa,
ada pembela yang menangkis dakwaan,ada orang-orang yang memberikan kesaksian
dan tentu saja kemudian ada hakim yang memutuskan. Dakwaan merupakan sejumlah
kejengkelan terhadap keadaan kritik puisi, terhadap kritikus M.S Hutagalung dan
H.B Jassin, terhadap penjagoan Subagio Sastrowardoyo oleh MSH serta penjagoan
W.S Rendra oleh HBJ
Tuntutan berbunyilah begini: Pertama, para kritikus
yang tidak mampu lagi mengikuti perkembangan puisi mutakhir, Khususnya HBJ dan
MSH, harus “dipensiunkan” dari peranan yang pernah mereka miliki. Kedua, para
editor majalah sastra, Khususnya Horison
(Sapardi Djoko Damono) dicuti-besarkan. Ketiga, Para penyair mapan seperti
Subagio, Rendra, Goenawan, dan sebangsanya dilarang menulis puisi dan para
epigonnya harus dikenakan hokum pembuangan, Kemudian inkarnasi dibuang ke pulau
paling terpencil. Keempat, dan terakhir, Horison
dan Budaya Jaya harus dicabut SIT-nya
dan yang sudah terbit selama ini dinyatakan tidak berlaku.
Hakim Darmanto menolak semua tuntutan jaksa. Jaksa
Slamet Kirnanto tidak merasa puas terhadap keputusan ini dan menyatakan naik
banding ke pengadilan yang lebih tinggi. “Boleh-boleh saja,” kata Hakim. “Nanti
kapan-kapan di kota lain.” Pembela merasa heran dengan prestasinya dan minta
supaya kopinya ditambah panitera. Permintaan di kabulkan.
SAYA MENDAKWA KEHIDUPAN
PUISI INDONESIA AKHIR-AKHIR INI TIDAK SEHAT, TIDAK JELAS DAN BRENGSEK.
Kepada
majelis peradilan sekarang ini saya akan menyampaikan sebuah karikatur yang
menggambarkan betapa makin tidak sehatnya ruang kehidupan sastra Indonesia.
Khususnya kehidupan puisi Indonesia. Sungguh sangat aneh dalam negeri sendiri
orang tidak menyadari tentang munculnya gejala dan kecendrungan-kecendrungan
baru itu. Dengan lagak seorang juri ia menilai dan sekaligus mengumumkan bahwa
dewasa ini penyair yang terkemuka di Indonesia adalah Subagio Sastrowardoyo
baru menyusul kemudian nama-nama Goenawan Mohammad, Sapardi Djoko Damono, dan
Rendra. Menurut Hutagalung, puncak keberhasilan Subagio adalah pada sajak” Dan Kematian
Semakin Akrab”di mana kekurangannya dalam kekuatan emosional cukup terpenuhi.
Dalam kesempatan itu, H.B Jassin naik pitam menolak
keputusan bekas anak didiknya itu. Menurut kritikus kawakan ini, penyair
terkemuka di Indonesia sekarang ini adalah Rendra. Rendra berhasil
menggambarkan gagasan-gagasan yang dalam, lekuk-liku kejiwaan yang sulit diraba
dan pikiran-pikiran yang tinggi dengan kata-kata sederhana dari kehidupan
sehari-hari dan imaji-imaji yang kongkret. Kalau demikian halnya, maka Nampak
sekali bahwa kehidupan kreativitas penulisan
puisi, tidak sekadar menulis dan menulis, memperdalam tingkat kedewasaan
dan kesenimanannya; namun, orang dipaksakan menggelarkan semacam papan catur
untuk meneguhkan mazhab, jalur, kepopuleran, dan lain-lain.
BEBERAPA CATATAN BERTALIAN
DENGAN PENGADILAN PUISI INDONESIA MUTAKHIR
Demikian
pula rupanya di antara orang yang mengetahui peristiwa itu hanya dari surat
kabar, salah paham jadi lebih besar lagi, karena laporan itu kehilangan suasana
yang mestinya meliputi ruangan “pengadilan “ itu. Si terdakwa ialah puisi
Indonesia Mutahir yang tentu didukung oleh penyair Indonesia mutakhir. Dalam
pengadilan puisi ini sudah sewajanya dihadirkan juga para penyair dan para
kritikus untuk mempertanggung jawabkan apa yang disebut sebagai dosa-dosanya.
Didalam pengadilan sesungguhnya tentulah seorang pembela akan memajukan
eksepsi, tapi saya sebagai peninjau merangkap tertuduh pada kesempatan ini
lebih berminat untuk minta diteruskan jalannya pengadilan dan membicarakan apa
yang perlu dibicarakan demi mencapai kejernihan dan keadilan.
PUISI KITA DEWASA INI (Jawaban
Saya Terhadap slamet kirnanto)
Saya sendiri
selalu menghadapi kritik-kritik yang ditujukan kepada saya secara positif,
sebab saya kira sudah wajar seorang yang suka mengkritik mau juga di kritik.
Pada mulanya saya mengira juga bahwa “pengadilan puisi” itu sebagai leluconan
saja, yang tidak perlu ditanggapi secara serius. Beberapa waktu yang lalu saya
mengemukakan bahwa tulisan Slamet Kirnanto di Sinar Harapan mengenai
sajak-sajak Sutardji Calzoum Bachri menimbulkan bau apak dalam kehidupan sastra
umumnya, kritik sastra khususnya. Dari pembicaraan kirnanto sebagai orang yang
punya pretensi untuk disebut sebagai pengayom penyair-penyair muda itu kita
lihat juga pahamnya yang jelek yakni
kurang demokratis, sebagai paham yang seharusnya dominan pada generasi
kita masa kini. Saya sendiri merasa wajar saja bila kirnanto memuja Sutardji
dan barangkali juga bermaksud secara tidak langsung memuja diri sendiri, tetapi
sebaiknya ia memberi bukti- bukti dan alasan-alasan yang masuk akal.
KOMENTAR BERHUBUNGAN DENGAN
PENGADILAN PUISI INDONESIA MUTAKHIR (Goenawan Mohammad)
Harus
diakui, ini hasil akal bagus untuk mengadakan diskusi puisi dengan cara baru.
Cara yang lama mungkin dianggap membosankan atau kurang daya Tarik. Dasar
pikiran penjual obat di alun-alun masih cukup sah untuk ditiru: maunya jual
obat, tapi buat aktrasi perlu ada sedikit jungkir-balik.
TENTANG “TUNTUTAN” Slamet Kirnanto : Maaf, saya
simpulkan semua ini berdasarkan ikhtisar dalam Koran, dari mana “tuntutan”
Slamet Kirnanto tersebar ke mana-mana. Mutunya sebagai pengusut perkembangan
puisi kira-kira sama dengan mutunya sebagai petinju.
TENTANG “HAKIM” DAN ISI PEMBICARAAN : saya dengar
“hakim” di hari itu adalah Sonento Yuliman dan Darmanto Jt. Saya tidak tahu
bagaimana penilaian Taufiq Ismail sebagai “ pembela” terhadap para “hakim” tapi
saya lebih penting ialah ini : saya mendapat kesan isi pembicaraan dalam “
pengadilan” itu bagaimana sibuknya para penyair itu terus menerus dengan diri mereka sendiri.
TENTANG KEHIDUPAN PUISI : kalau kini atau nanti Subagio
Sastrowardoyo, W.S Rendra, Taufiq Ismail dan lain-lain tidak lagi menghasilkan
sesuatu apa pun yang berharga, tak usah kita panik. Sekali lagi, Tokoh kita
adalah puisi, bukan penyair. Yang kita butuhkan adalah puisi yang berharga
hingga lebih baik seorang penyair berhenti menulis daripada ia memaksa diri
kasih unjuk tenaganya tapi Cuma menghasilkan ampas. Tidak ada salahnya puisi
hidup tanpa kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar